Minggu, 04 Oktober 2009

Logika Rukyah dan Hisab Dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan

Logika (Ru'yah) Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan Oleh: Ahmad Jaelani Elhijaa
Hari Kamis tanggal 13 September 2007 ini kita memasuki bulan amat keramat bagi ummat Islam sedunia, yaitu Ramadlann. Sebab ia sebagai bulan penuh Barokah (kebaikan;semua perilaku baik dibalas dengan kelipatan tak terbatas),Rahmat (kasih sayang; atas jerih payah ummatNya melakukan pendekatan dengan metode yang paling disukaiNya yakni menahan diri dari keinginan makan,minum,sex,dll),dan Maghfiroh (pengampunan segala dosa yang menyangkut hak Allah;sebagai konsekuensi logis karena telah melakukan kebaikan-kebaikan hingga memperoleh rahmatNya). Berbagai hal telah dipersiapkan banyak kalangan untuk menyambut kehadiran bulan yang juga disebut bulan taubat ini.

Biasanya beberapa saat menjelang hari H-nya,masyarakat dan media kita akan diramaikan oleh silang pendapat tentang awal dan kelak akhir Ramadhan ( 1 Syawal/Iedul Fitri 1428 H). Namun, kali ini tidak akan terjadi silang pendapat dan perbedaan mengawali puasa Ramadhan. sebab, jumlah hari dalam bulan Sya'ban ini "disepakati" genap 30 hari, dimana hari ke 30 bertepatan dengan hari Rabu 12 September 2007.Maka secara otomatis awal Ramadhan jatuh pada Kamis 13 September 2007 (lihat kalender Pemerintah, NU dan Muhammadiyah). Berbeda dengan penentuan 1 Syawal (Iedul Fitri 1428 H) kelak yang akan sedikit "ramai",karena ada perbedaan satu hari antara kalender Pemerintah dan kedua ormas keislaman tersebut. Perbedaan ini yang sering menimbulkan ketidakmenentuan dan kegerahan bagi ummat Islam dalam menyambut hari agung yang sudah dinantikan dengan persiapan super istimewa. Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang tidak "menentu" dan selalu cenderung musti berbeda antara pemerintah dan ormas-ormas Islam ini,sering menimbulkan suasana kacau dan tidak nyaman di tengah masyarakat.Lebih-lebih bila perbedaan terjadi pada Iedul Fitri. Pada malam ke-30 (suatu ketika menjelang awal) Ramadhan, sejak sore,dengan harap-harap cemas masyarakat menunggu pengumuman hasil ru'yah dari pemerintah. Ternyata hilal tidak bisa diru'yah.Mereka pun shalat tarawih. Tiba-tiba pada jam 21.00 WIB, bahkan tidak jarang pada tengah malam, ada kabar dan disiarkan lewat speeker musolla dan masjid bahwa telah terjadi ru'yatul hilal. Masyarakat pun terbagi dua,ada yang memngikuti dan ada yang menolak informasi tersebut,tergantung ulama' setempat.
Pemerintah sering memaksakan keputusannya
Celakanya, pemerintah memaksakan keputusannya. Ini bisa dilihat adanya "larangan" takbiran malam harinya dan shalat Iedul Fitri (yang bukan versi pemerintah) di sebagian besar masjid-masjid jami' yang punya link ke pemerintah. Di masjid-masjid ini hanya segelintir orang yang melaksanakan shalat Ied,sebab kebanyakan mereka sudah melaksanakannya sehari sebelumnya di masjid-masjid kecil . Pemanadangan ini mudah kita jumpai setiap tahun terutama di daerah-daerah (kecamatan-kabupaten).Ormas Islam sebesar NU pun kadang tak berdaya melawan "tekanan" penguasa untuk sekedar membukakan pintu masjid-masjid jami'nya yang memang mayoritas warga sekitarnya adalah nahdhiyyin.
Suasana tak nyaman seperti ini selalu hadir manakala terjadi perbedaan antara pemerintah dengan ormas dan antar ormas Islam itu sendiri. Memang perberbedaan itu
sudah ada berabad-abad sejak jaman sahabat entah sampai kapan. Namun,tidakkah penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal bisa dikompromikan dengan logika dan sains ? Para ahli hisab,baik yang dari nahdhiyyin maupun muhammadiyyin,hasil perhitungannya telah lama dipakai oleh ummatnya. Warga nahdliyyin misalnya, mereka sudah punya informasi "valid" tentang awal dan akhir Ramadhan terutama masyarakat yang dekat atau punya akses ke pondok pesantren yang memiliki ulama' ahli falak (hisab). Pesantren ini biasanya tiap Nisfu Sya'ban (tgl 15 Sya'ban ) mengadakan Haflah Awal/Akhir Sanah (perayaan awal/akhir tahun) yang di dalamnya juga diumumkan hasil hisab (penghitungan penentuan awal dan akhir Ramadhan) yang dikerjakan dan sudah dikonsultasikan sesama ulama' ahli hisab.Warga Nahdliyyin ini sudah punya kemantapan hati mengikuti itsbath (penetapan) ulama'nya. Ironisnya NU sebagai institusi tidak "berani" mengakomodir hasil "ijtihad" para ulama'nya sendiri karena berhujjah pada pemahaman Alhadits bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah hanya dengan melihat (dengan mata telanjang) adanya bulan secara langsung (rukyatul hilal).
Penafsiran tunggal yang kaku ini memang terdengar "tumben" di kalangan NU yang biasanya paling fleksibel menafsiri makna sebuah nash, sampai-sampai ada yang mencap golongan ini gemar berbid'ah (suatu prilaku yang tidak pernah dikerjakan atau tak pernah ada di zaman Rasulullah SAW.) .Para petinggi ormas keislaman terbesar di Indonesia itu memaknai kata ru'yah sebagai melihat dengan mata (telanjang).Dalam versi mereka melakukan rukyatul hilal tidak boleh memakai alat apalagi yang berteknologi canggih. Jadi, seakurat-akuratnya hasil kalkulasi hisab para ahli falak itu bagai kertas kosong manakala Tim Ru'yah yang diturunkan pemerintah (Depag) dan atau PBNU tidak bisa melihat bulan sebab langit tertutup mendung beneran(sebagaimana dalam hadits Nabi SAW.) maupun mendung politik. Sebagaimana kita semua mafhum di negeri non Islam dengan penghuni muslim terakbar di muka bumi ini semuanya bisa beraroma tak sedap politik termasuk dalam hal keberagamaan.
Berbeda dengan Muhammadiyah yang sudah menjatuhkan pilihan pada metode ilmu hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan dan juga hari Raya Haji (Iedul Adha). Mereka relatif lebih nyaman dalam menyambut kedatangan tamu agung tahunan itu dan bisa lebih merencanakan segala sesuatunya (meminjam istilah Gus Mus) karena kedatangan sang tamu sudah terjadwal pasti. Padahal kita semua mafhum, kalangan ini paling tidak mau "berbelok" sedikitpun dari nash hingga kelompok ini amat masyhur sebagai anti bid'ah. Kita pun merasa "tumben" dengan "keberanian" mereka berijtihad secara mukholafatul 'adah (di luar kebiasaan mereka). Fenomena "dua tumben" ini sebenarnya menarik dikaji lebih jauh lagi .Siapa tahu banyak ke-tumben-an dalam produk fiqih mereka.Dalam tulisan ini penulis tak bermak sud membahas fenomena ini.Penulis hanya ingin mencoba mengurai benang kusut pada pemahaman teks Hadits yang menjadi landasan kaum muslimin mengawali dan mengakhiri Ramadhan yang acap meniupkan hawa gerah di tengah masyarakat terutama dalam suasana yang fitri.Bahkan pernah menimbulkan peristiwa geger di sebuah desa di Sampang Madura beberapa tahun silam karena saling merasa benar sendiri dan mengharamkan puasa saudaranya di hari Iedul Fitrinya dan sebaliknya.
Yang menjadi permasalahan sebenarnya bukanlah soal keyakinan keagamaan dan cara kita menyikapi perbedaan yang memang sudah mentradisi itu, melainkan mengapa perbedaan itu "diharuskan" ada hanya karena "kekolotan" dan "syahwat agama" segelintir kelompok (termasuk penguasa) dalam memahami nash agama tersebut, sehingga unsur kerbenaran mutlak yang riil diabaikan begitu saja. Disebut kebenaran mutlak karena munculnya hilal di awal bulan sebagai tanda pergantian bulan adalah sebuah keniscayaan alam karena siklus perputaran Bulan mengelilingi Bumi bersifat tetap (Q:36:39) dan sudah bisa diprediksi (baca:dihisab) secara pasti/tepat. Banyak cara untuk membuktikan tepat tidaknya perhitungan para ahli falak itu. Salah satunya adalah memanfaatkan teropong bintang untuk memantau munculnya hilal. Apalagi Menkominfo Prof.Dr.Ir. Mohamad Nuh DEA pada tanggal 19 Agustus yang lalu di Surabaya menyatakan siap memfasilitasi kaum muslimin di Indonesia untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan menggunakan teknologi informasi dan pemanfaatan teropong bintang di Boscha, Bandung.
Keabsahan Teropong Bintang Tak Terbantahka
Pernyataan mantan Rektor ITS Surabaya ini mustinya sebagai angin segar bagi kaum muslimin di tengah "ketidakpastian" menyongsong awal dan akhir Ramadhan. Sebab "ketidakpastian" ini tidak hanya dimonopoli umat Islam Indonesia, tapi ironisnya juga dialami kaum muslimin yang tinggal di pelbagai belahan dunia yang notabene adalah negara maju dan berteknologi canggih. Saudi Arabia bahkan pernah mengalami kekisruhan berramadhan 28 hari. Ini ,seolah-olah menunjukkan bahwa Islam anti tekno- logi (canggih). Atau para teknolog takut dan tidak boleh masuk wilayah keagamaan yang hanya monopoli para ulama'nya ? Penggunaaan teropong bintang sebagai alat sah ru'yatul hilal mestinya sudah bisa diakui oleh para ulama',mengingat akurasinya tepat. Andaikata argumentasi logis ini bisa diterima oleh kaum yang berlogika pula, maka mestinya mulai Ramadhan 1428 H ini kaum muslimin wabilkhushush para ulama'nya bersedia memanfaatkan teropong bintang sekaligus mengakui kesahihannya untuk memastikan terlihat tidaknya hilal sebagai dasar menetapkan hukum memulai dan mengakhiri puasa. Sehingga , umat Islam secara serentak di seluruh pelosok negeri ini( bahkan internasional,sesuai letak geografisnya) bisa berpuasa dan berhari raya di hari yang sama. Tidak seperti pada tahun-tahun silam yang kadang mengawali Ramadhan di hari yang sama, namun ber-Iedul Fitri pada hari yang berbeda, begitu juga sebaliknya.
Bukan soal "kebersamaan" mengawali dan mengakhiri Ramadhan yang perlu dikritisi. Tapi,soal "berebut" obyek (baca:hilal) yang bisa menentukan "kebersamaan" itu terjadi atau tidak, padahal obyek yang menjadi fokus kita tersebut hanyalah satu, hanya satu, dan tentu saja sedang berada pada satu titik saja (manzilah). Keberadaan obyek itu "sangat mudah" diprediksi dan lebih mudah lagi membuktikannya asal kita mau sedikit saja melonggarkan standar logika pemahaman kita pada Hadits-Hadits Rosulullah SAW yang terkait penentuan Ramadhan, sehingga tidak tabu memanfaatkan alat berteknologi seperti teropong bintang dsb. Jika urutan logika ini sudah bisa kita cerna dengan akal sehat dan bisa meyimpulkan keabsahannya, maka giliran alat yang bernama Teropong Bintang ini patut kita "awasi" dan "waspadai" cara bekerjanya. Apabila ia sebuah teleskop yang hanya bisa membidik obyek yang berada pada garis lurus dengannya (apalagi pada posisi 1 derajat), berarti ia sudah memenuhi syarat sebagai alat bantu mata melihat obyek yang segaris lurus dengannya. Apakah teropong bintang itu juga mampu "menembus" gumpalan awan yang menghalangi pandangan mata telanjang? Jika tidak, maka sama halnya dengan menyuruh,maaf, orang buta melihat sebuah obyek. Juga tak kalah pentingnya adalah kredibilitas orang yang mengoperasikannya. Dalam hal ini penulis sangat yakin dengan kredibilitas dan integritas seorang M0hamad Nuh, tokoh yang relaif baru di kancah nasional dan relatif steril dari bakteri politik, sehingga hasil teropongannya yang kelak disampaikan ke masyarakat dapat dipertanggungjawabkan tertutama di hadapan Tuhan YME.
1 Ramadhan dan 1 Syawal 1428 H
Perhitungan hisab untuk penentuan awal dan akhir Romadlon 1428 H ini beredar di kalangan ulama' ahli hisab, sebagaimana yang ada di kalender yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan NU dan Muhammadiyah, awal Ramadhan jatuh pada hari Kamis tgl 13 September 2007 dan berakhir pada Kamis tgl. 11 Oktober 2007. Ini berarti 1 Syawal 1428 H (Iedul Fitri) jatuh pada hari Jumat tgl. 12 0ktober 2007. Lama puasa 29 hari. Sedangkan pada kalender yang beredar di lingkungan instansi pemerintah, awal Ramadhan sama dengan yang ada di kalender kedua ormas tersebut. Namun 1 Syawal 1428 H (Iedul Fitri) jatuh pada hari Sabtu tgl. 13 Oktober 2007. Puasa genap 30 hari.
Peran Teropong Bintang
Disinilah, Teropong Bintang berperan sebagai "wasit" untuk "membuktikan" secara jujur apakah hilal benar-benar muncul atau tidak saat itu. Meski para ahli hisab sudah sepakat 1 Ramadhan jatuh hari Kamis,Teropong Bintang harus tetap memantau hilal Selasa sore dan mempublikasikan hasilnya. Untuk memperkuat keabsahan ru'yatul hilal dengan Teropong Bintang ini, harus melibatkan orang sebanyak mungkin. Bila perlu melibatkan stasiun telivsi nasional untuk menyiarkan secara langsung agar bisa disaksikan masyarakat luas, sekaligus kaum muslimin bisa merasa mantap dalam beribadah karena telah "melihat" dengan mata kepala sendiri. Sebab umat juga berhak memperoleh informasi yang benar dan pemerintah wajib menyediakannya.
Menkominfo sebagai fasilitator, harus "berani" jujur bahwa teropong bintang- nya benar-benar melihat bulan sabit (ru'yatul hilal), meski seandainya pemerintah dalam hal ini Departemen Agama menyatakan pada waktu yang sama bahwa Tim yang diturunkan di sejumlah tempat pemantaun tidak melihat bulan sabit (ru'yatul hilal) karena pandangan terhalang oleh mendung yang tebal dan sebagainya, seperti yang selama ini terjadi (sepengetahuan penulis,pemerrintah sejak Orde Baru sampai sekarang belum pernah merubah "jadwal merah" Iedul Fitri yang sudah ditetapkan dalam kalender mereka).Akhirnya terjadilah satu hari raya, berlangsung dua hari.Padahal berpuasa atau berbuka di salah satu dari dua hari raya tersebut hukumnya bisa wajib,bisa haram tergan- tung mana yang sesuai dengan satu-satunya ru'yatul hilal yang sebenarnya alias nyata.
Bilamana perbedaan waktu (dua hari raya/awal ramadan) ini terjadi lagi, tidakkah logika sehat kita terusik ? Sangat mustahil alias nonsen di belahan Bumi ini terjadi perbedaan waktu hingga 24 jam sebagaimana peristiwa dua hari raya di atas(bahkan Iraq pernah berbeda 2 hari dengan Saudi Arabia)!Maksimal 12 jam. Itupun antar negara sejauh jarak Indonesia-Amerika Serikat. Jika sesuatu yang sangat mustahil bagi akal sehat siapapun ini, masih kita pakai sebagai dasar hukum untuk tetap berbeda, maka kita akan ditertawakan oleh seluruh dunia,termasuk diri kita sendiri (ummat Islam). Boleh-boleh saja orang bilang :"perbedaan itu hasanah dan demokrasi dalam beragama", asal sealiran sumber aslinya ( Alquran dan Assunnah) dan nalar yang berlogika waras. Baagaimana pendapat Anda ?. ( Artikel pernah saya kirim ke sebuah media cetak pada 08 Agustus 2007, tapi tidak dimuat ).

Menyoal Fatwa Haram MUI

Menyoal Fatwa Haram MUI
Kondisi riil ekonomi masyarakat tak kunjung membaik meski
kepemimpinan Nasional silih beganti, bahkan cenderung semakin merosot.
Janji-janji politik semasa kampanye PILEG maupun PILPRES lima tahun
silam hanyalah rayuan untuk meraih simpati dan suara ummat. Setelah
terpilih mereka hanya sibuk memakmurkan diri sendiri dan kelompoknya.
Kini masyarakat tinggal menunggu kinerja para wakil rakyat yang baru
saja terpilih dalam PILEG 2009 apakah mereka benar-benar akan bekerja
memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya, meski sebenarnya
kita sudah bisa menduga akan seperti apa kinerja mereka nanti.
Terlebih banyak pihak menengarai kualitas anggota Dewan periode 2009 –
2014 ini lebih rendah dari pada periode sebelumnya. Kita pun harus
sabar menunggu apakah presiden terpilih sekarang mampu mewujudkan
janji-janjinya memperbaiki kualitas hidup rakyatnya lima tahun ke
depan ? Ataukah hanya akan melanjutkan keterpurukan mereka ?
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini ditambah krisis global
semakin mempepuruk keadaan, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
Banyak pabrik dan industri tutup. Pengangguran di mana-mana. Angka
kemiskinan yang masih tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan membuat
sebagian anggota masyarakat melakukan apa saja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya termasuk melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan
yang dapat merendahkan martabat mereka di mata masyrakat seperti
meminta- minta atau mengemis di tempat umum.
Sudah menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa ini untuk
ikut andil menyelesaikan berbagai masalah yang melilit kehidupan
berbangsa dan bernegara kita, mulai dari masalah sosial, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, keagamaan dan sebagainya sesuai keahlian,
tugas dan perannya masing-masing. Khusus masalah pebaikan ekonomi
memang bukan pekerjaan mudah. Bidang ini tidak hanya memerlukan
kepakaran dengan sederet gelar akademik, melainkan lebih dari itu
dibutuhkan kejujuran, keuletan dan dedikasi yang tinggi pada
kebangsaan, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan
sekedar amanah Pancasila. Bila tidak, maka suatu saat kita akan
melihat bangsa ini akan berada pada level terbawah di hampir semua
lini kehidupan bahkan di tingkat negara-negara ASEAN, wal’iyazdu
billah min zdalik ! ( semoga Tuhan melindungi dari hal tersebut ! ).
Belakangan ini terutama pada setiap bulan suci Ramadhan ada
pemandangan tidak sedap yang membuat hati siapa pun yang melihatnya
miris : banyaknya para pengemis yang berkeliaran di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya. Mereka ada yang cuma berdua tapi ada
pula yang berkelompok hingga tujuh orang dengan pakaian yang memang
‘didisain’ khusus untuk pengemis. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Budiharjo Kepala Dinas Sosial Pemda DKI di sebuah media elektronik
bahwa para pengemis itu didrop oleh sindikat dan ‘digaaji’ dari hasil
mengemisnya sendiri. Namun tentu tidak semua pengemis yang berkeliaran
itu ‘anggota’ sindikat. Ada juga yang pengemis ‘mandiri’. Artinya
mengemis benar-benar sudah menjadi pekerjaannya sendiri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan tidak perlu menyetor penghasilannya kepada
siapa pun.Walhasil mengemis ini sudah menjadi semacam profesi bagi
kedua jenis pengemis ini. Padahal sebagian dari mereka tidaklah
miskin-miskin amat. Bahkan penulis menjumpai ada dari mereka yang
beristri lebih dari satu. Masya Allah ! Hebat ! Itulah kalimat
pertamakali yang terucap dari mulut penulis ketika mengetahuinya.
Namun tentu masalah pengemis ini membuat hati kita semua
pedih dan prihatin. Mengaapa di negeri yang tersohor dengan slogan
gemah ripah lohjinawi ini masih ada ( baca: banyak ) para pengemis
entah karena terpaksa atau karena budaya malas. kita terperangah oleh
berita di media bahwa ada sebuah kecamatan di Kabupaten Sumenep Madura
yang hampir seluruh penduduknya berprofesi sebagai pengemis. Jika
memang benar Mungkin pihak Museum Rekor Indonesia ( MURI ) perlu
mendaftarkannya sebagai rekor baru. Keadaan ini membuat gerah para
ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Kabupaten
Sumenep yang kemudian bereaksi keras dalam menyikapi fenomena
ummatnya. Sampai-sampai mereka ‘tega’ mengeluarkan jurus pamungkasnya
: Fatwa Haram yang juga didukung oleh MUI Jatim dan MUI Pusat
Namun menurut hemat penulis Fatwa Haram ini lagi-lagi tidak
akan efektif sebagaiman juga fatwa haram sebelumnya yaitu fatwa haram
merokok. Artinya para pengemis itu ( juga perokok ) tidak akan pernah
menghentikan kebiasaannya hanya lantaran terbitnya Fatwa Haram MUI
tersebut. Hal ini karena tidak adanya alasan ( ‘illah ) yang kuat
untuk memberi status haram. Bahkan alasan ini bersifat permanent.
Artinya, dalam situasi dan kondisi seperti apa pun meminta tidak bisa
dihukumi haram. Sebab hukum asalnya boleh (jaiz) meski di dalam Islam
meminta-meminta sangat tidak dianjurkan. Malah dianjurkan sebaliknya
sebagaiamana dikatakan dalam sebuah Hadits : Tangan di atas lebih baik
dari pada tangan di bawah. Tentu ini sebuah ‘peluang’ bagi sebagian
orang. Bila ada yang hendak bersedekah atau berzakat maka ‘wajib’ ada
yang mau menerima walau Islam mensyaratkan si penerima wajib masuk
dalam delapan golongan yang berhak menerima sedekah dan zakat
(QS:9:60) Bahkan salah satu pendapat imam mazdhab fiqih mengatakan :
sah hukumnya membayar zakat kepada orang yang mengaku dirinya fakir
atau miskin (kitab: al-Mizan al-Kubro) .
Jika di kemudian hari hal ini bisa menimbulkan sekelompok
orang malas bekerja normal dan memilih pengemis sebagai pekerjaan,
tentu tidak bisa membalik hukum jaiz menjadi haram begitu saja. Sebab
penetapan hukum harus berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Kalau
pun dipaksakan, ‘illah haramnya sangatlah rumit. Masa hukum haram
mengemis hanya bagi para pengemis Sumenep saja ? Bagaimana dengan para
pengemis daerah lain? Apakah haram itu karena meminta-minta di tempat
umum atau mengganggu umum? Bagaimana kalau mengemis tidak di tempat
umum apakah juga haram ? Misalnya masuk ke rumah-rumah, instansi,
perusahaan dan sebagainya yang justru dilakukan orang-orang terhormat
seperti yang dilakukan sebagaian anggota DPRD Jawa Timur menjelang
pensiun yang sibuk keluar masuk kantor kepala dinas berbagai instansi
untuk meminta ‘pesangon’ fiktif sekaligus tunjangan hari raya ( THR )
. Kenapa MUI tidak mengeluarkan fatwa haramnya padahal disinyalir hal
ini terjadi setiap tahun ? Bagaimana kalau ‘mengemis’ dilakukan
orang-orang terhormat lainnya kepada orang yang pernah mendapat ‘jasa
hidup’ darinya ?
Seandainya saja fatwa haram itu sah secara Islam, berarti
uang atau barang yang diperoleh dari hasil mengemis atau meminta itu
pun haram hukumnya. Begitu juga dengan si pemberi karena ikut berperan
aktif dalam keharaman pengemis. Padahal Rasul SAW. Menegaskan “
Barangsiapa makan sesuap dari barang haram, maka shalatnya tidak akan
diterima selama empat puluh hari”. Para pengemis itu bukan hanya tidak
taat pada fatwa tersebut tapi juga akan sangat ‘marah’ jika dikatakan
shalat mereka sia-sia karena makan barang haram dari hasil mengemis.
Ini akan berakibat sangat buruk bagi kewibawaan MUI sebagai lembaga
pengawal moral dan akidah ummat. Kita semua pasti setuju untuk segera
‘memberantas’ para pengemis dari bumi tercinta ini. Tapi tentu bukan
dengan produk hukum agama yang dipaksakan yang kontra produktif. Untuk
apa mengeluarkan sebuah fatwa hukum lemah yang jelas-jelas tidak akan
ditaati oleh siapa pun bahkan cenderung menjadi bahan olok-olokan.
Kita masih ingat Fatwa Haram Merokok yang mubazir itu. Lihat
saja di berbagai tempat umum banyak orang merokok. Bahkan di
penghelatan pengajian asap rokok masih mengepul dari bibir para kiai
dan ustad serta kaum santri. Sebab rokok selama kadar nikotinnya masih
seperti yang selama ini beredar, sulit ditetapkan sebagai barang haram
oleh hukum Islam. Sebaiknya MUI sangat selektif di dalam memutuskan
fatwa-fatwa haramnya. Jika perlu bisa melibatkan ormas keagamaan
seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah agar keputusannya lebih absah
dan bisa diamini ummat kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Untuk mengatasi masalah pengemis harus dengan perangkat sosial
yang bijak dari dinas terkait serta kearifan semua pihak. Tidak perlu
over seperti tindakan Pemprov DKI Jaya yang malah menangkap para
pemberi sedekah. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengasahan
kepedulian sesama anak bangsa.
Jika MUI masih bersyahwat dengan fatwa haramnya, mungkin yang
bisa diijtihadi adalah tehnik memintanya seperti Fatwa Haram atas
meminta sumbangan di tengah jalan karena membahayakan para pengendara
yang dikeluarkan oleh MUI Pasuruan. Meski tetap juga mengandung banyak
kerumitan dan berpotensi tidak digubris umatnya. Bagaimana pendapat
anda ? (Atikel ini sudah pernah dikirim ke harian Surya dan dimuat pada edisi 07 September 2009 ).