Minggu, 04 Oktober 2009

Menyoal Fatwa Haram MUI

Menyoal Fatwa Haram MUI
Kondisi riil ekonomi masyarakat tak kunjung membaik meski
kepemimpinan Nasional silih beganti, bahkan cenderung semakin merosot.
Janji-janji politik semasa kampanye PILEG maupun PILPRES lima tahun
silam hanyalah rayuan untuk meraih simpati dan suara ummat. Setelah
terpilih mereka hanya sibuk memakmurkan diri sendiri dan kelompoknya.
Kini masyarakat tinggal menunggu kinerja para wakil rakyat yang baru
saja terpilih dalam PILEG 2009 apakah mereka benar-benar akan bekerja
memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya, meski sebenarnya
kita sudah bisa menduga akan seperti apa kinerja mereka nanti.
Terlebih banyak pihak menengarai kualitas anggota Dewan periode 2009 –
2014 ini lebih rendah dari pada periode sebelumnya. Kita pun harus
sabar menunggu apakah presiden terpilih sekarang mampu mewujudkan
janji-janjinya memperbaiki kualitas hidup rakyatnya lima tahun ke
depan ? Ataukah hanya akan melanjutkan keterpurukan mereka ?
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini ditambah krisis global
semakin mempepuruk keadaan, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
Banyak pabrik dan industri tutup. Pengangguran di mana-mana. Angka
kemiskinan yang masih tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan membuat
sebagian anggota masyarakat melakukan apa saja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya termasuk melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan
yang dapat merendahkan martabat mereka di mata masyrakat seperti
meminta- minta atau mengemis di tempat umum.
Sudah menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa ini untuk
ikut andil menyelesaikan berbagai masalah yang melilit kehidupan
berbangsa dan bernegara kita, mulai dari masalah sosial, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, keagamaan dan sebagainya sesuai keahlian,
tugas dan perannya masing-masing. Khusus masalah pebaikan ekonomi
memang bukan pekerjaan mudah. Bidang ini tidak hanya memerlukan
kepakaran dengan sederet gelar akademik, melainkan lebih dari itu
dibutuhkan kejujuran, keuletan dan dedikasi yang tinggi pada
kebangsaan, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan
sekedar amanah Pancasila. Bila tidak, maka suatu saat kita akan
melihat bangsa ini akan berada pada level terbawah di hampir semua
lini kehidupan bahkan di tingkat negara-negara ASEAN, wal’iyazdu
billah min zdalik ! ( semoga Tuhan melindungi dari hal tersebut ! ).
Belakangan ini terutama pada setiap bulan suci Ramadhan ada
pemandangan tidak sedap yang membuat hati siapa pun yang melihatnya
miris : banyaknya para pengemis yang berkeliaran di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya. Mereka ada yang cuma berdua tapi ada
pula yang berkelompok hingga tujuh orang dengan pakaian yang memang
‘didisain’ khusus untuk pengemis. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Budiharjo Kepala Dinas Sosial Pemda DKI di sebuah media elektronik
bahwa para pengemis itu didrop oleh sindikat dan ‘digaaji’ dari hasil
mengemisnya sendiri. Namun tentu tidak semua pengemis yang berkeliaran
itu ‘anggota’ sindikat. Ada juga yang pengemis ‘mandiri’. Artinya
mengemis benar-benar sudah menjadi pekerjaannya sendiri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan tidak perlu menyetor penghasilannya kepada
siapa pun.Walhasil mengemis ini sudah menjadi semacam profesi bagi
kedua jenis pengemis ini. Padahal sebagian dari mereka tidaklah
miskin-miskin amat. Bahkan penulis menjumpai ada dari mereka yang
beristri lebih dari satu. Masya Allah ! Hebat ! Itulah kalimat
pertamakali yang terucap dari mulut penulis ketika mengetahuinya.
Namun tentu masalah pengemis ini membuat hati kita semua
pedih dan prihatin. Mengaapa di negeri yang tersohor dengan slogan
gemah ripah lohjinawi ini masih ada ( baca: banyak ) para pengemis
entah karena terpaksa atau karena budaya malas. kita terperangah oleh
berita di media bahwa ada sebuah kecamatan di Kabupaten Sumenep Madura
yang hampir seluruh penduduknya berprofesi sebagai pengemis. Jika
memang benar Mungkin pihak Museum Rekor Indonesia ( MURI ) perlu
mendaftarkannya sebagai rekor baru. Keadaan ini membuat gerah para
ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Kabupaten
Sumenep yang kemudian bereaksi keras dalam menyikapi fenomena
ummatnya. Sampai-sampai mereka ‘tega’ mengeluarkan jurus pamungkasnya
: Fatwa Haram yang juga didukung oleh MUI Jatim dan MUI Pusat
Namun menurut hemat penulis Fatwa Haram ini lagi-lagi tidak
akan efektif sebagaiman juga fatwa haram sebelumnya yaitu fatwa haram
merokok. Artinya para pengemis itu ( juga perokok ) tidak akan pernah
menghentikan kebiasaannya hanya lantaran terbitnya Fatwa Haram MUI
tersebut. Hal ini karena tidak adanya alasan ( ‘illah ) yang kuat
untuk memberi status haram. Bahkan alasan ini bersifat permanent.
Artinya, dalam situasi dan kondisi seperti apa pun meminta tidak bisa
dihukumi haram. Sebab hukum asalnya boleh (jaiz) meski di dalam Islam
meminta-meminta sangat tidak dianjurkan. Malah dianjurkan sebaliknya
sebagaiamana dikatakan dalam sebuah Hadits : Tangan di atas lebih baik
dari pada tangan di bawah. Tentu ini sebuah ‘peluang’ bagi sebagian
orang. Bila ada yang hendak bersedekah atau berzakat maka ‘wajib’ ada
yang mau menerima walau Islam mensyaratkan si penerima wajib masuk
dalam delapan golongan yang berhak menerima sedekah dan zakat
(QS:9:60) Bahkan salah satu pendapat imam mazdhab fiqih mengatakan :
sah hukumnya membayar zakat kepada orang yang mengaku dirinya fakir
atau miskin (kitab: al-Mizan al-Kubro) .
Jika di kemudian hari hal ini bisa menimbulkan sekelompok
orang malas bekerja normal dan memilih pengemis sebagai pekerjaan,
tentu tidak bisa membalik hukum jaiz menjadi haram begitu saja. Sebab
penetapan hukum harus berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Kalau
pun dipaksakan, ‘illah haramnya sangatlah rumit. Masa hukum haram
mengemis hanya bagi para pengemis Sumenep saja ? Bagaimana dengan para
pengemis daerah lain? Apakah haram itu karena meminta-minta di tempat
umum atau mengganggu umum? Bagaimana kalau mengemis tidak di tempat
umum apakah juga haram ? Misalnya masuk ke rumah-rumah, instansi,
perusahaan dan sebagainya yang justru dilakukan orang-orang terhormat
seperti yang dilakukan sebagaian anggota DPRD Jawa Timur menjelang
pensiun yang sibuk keluar masuk kantor kepala dinas berbagai instansi
untuk meminta ‘pesangon’ fiktif sekaligus tunjangan hari raya ( THR )
. Kenapa MUI tidak mengeluarkan fatwa haramnya padahal disinyalir hal
ini terjadi setiap tahun ? Bagaimana kalau ‘mengemis’ dilakukan
orang-orang terhormat lainnya kepada orang yang pernah mendapat ‘jasa
hidup’ darinya ?
Seandainya saja fatwa haram itu sah secara Islam, berarti
uang atau barang yang diperoleh dari hasil mengemis atau meminta itu
pun haram hukumnya. Begitu juga dengan si pemberi karena ikut berperan
aktif dalam keharaman pengemis. Padahal Rasul SAW. Menegaskan “
Barangsiapa makan sesuap dari barang haram, maka shalatnya tidak akan
diterima selama empat puluh hari”. Para pengemis itu bukan hanya tidak
taat pada fatwa tersebut tapi juga akan sangat ‘marah’ jika dikatakan
shalat mereka sia-sia karena makan barang haram dari hasil mengemis.
Ini akan berakibat sangat buruk bagi kewibawaan MUI sebagai lembaga
pengawal moral dan akidah ummat. Kita semua pasti setuju untuk segera
‘memberantas’ para pengemis dari bumi tercinta ini. Tapi tentu bukan
dengan produk hukum agama yang dipaksakan yang kontra produktif. Untuk
apa mengeluarkan sebuah fatwa hukum lemah yang jelas-jelas tidak akan
ditaati oleh siapa pun bahkan cenderung menjadi bahan olok-olokan.
Kita masih ingat Fatwa Haram Merokok yang mubazir itu. Lihat
saja di berbagai tempat umum banyak orang merokok. Bahkan di
penghelatan pengajian asap rokok masih mengepul dari bibir para kiai
dan ustad serta kaum santri. Sebab rokok selama kadar nikotinnya masih
seperti yang selama ini beredar, sulit ditetapkan sebagai barang haram
oleh hukum Islam. Sebaiknya MUI sangat selektif di dalam memutuskan
fatwa-fatwa haramnya. Jika perlu bisa melibatkan ormas keagamaan
seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah agar keputusannya lebih absah
dan bisa diamini ummat kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Untuk mengatasi masalah pengemis harus dengan perangkat sosial
yang bijak dari dinas terkait serta kearifan semua pihak. Tidak perlu
over seperti tindakan Pemprov DKI Jaya yang malah menangkap para
pemberi sedekah. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengasahan
kepedulian sesama anak bangsa.
Jika MUI masih bersyahwat dengan fatwa haramnya, mungkin yang
bisa diijtihadi adalah tehnik memintanya seperti Fatwa Haram atas
meminta sumbangan di tengah jalan karena membahayakan para pengendara
yang dikeluarkan oleh MUI Pasuruan. Meski tetap juga mengandung banyak
kerumitan dan berpotensi tidak digubris umatnya. Bagaimana pendapat
anda ? (Atikel ini sudah pernah dikirim ke harian Surya dan dimuat pada edisi 07 September 2009 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar